Senin, 02 Juni 2014

Komnas HAM-SERIUS UNGKAP KASUS JALAN JATI

Djonggi M. Simorangkir, SH., MH

Kasus penggusuran paksa di Jalan Jati Medan dalam Perkara No. 113 kini mulai serius ditangani KomnasHAM. Pengacara korban meminta KPK turuntangan.  

 

Pengadilan Negeri (PN) Medan kembali menggelar sidang lanjutan gugatan terhadap eksekusi Jalan Jati Lingkungan X kelurahan Pulo Brayan Bengkel Kecamatan Medan Timur, dengan penggugat Hj Nur Aisyah, nomor perkara 466 /Pdt.G/2013/PN Medan melawan tergugat Abdul Kiram Cs, atas  penetapan  Pengadilan Negeri No.113/Pdt.G/2006/PN. tahun 2011, yang mengeksekusi lahan dan perubuhan rumah milik penggugat, Kamis (8/5).

Persidangan yang digelar di ruang Cakra 5  PN  Medan, dengan agenda pemeriksaan dan  mendengarkan keterangan dari saksi penggugat,  dipimpin Ketua  Majelis Hakim, Serliwati SH. MH dan Hakim anggota Agustinus Setia,SH dan Waspin Simbolon SH. MH.

Saksi penggugat dalam sidang itu mengaku melihat  perubuhan rumah milik penggugat Hj. Nur Aisyah oleh juru sita PN Medan. Padahal penggugat sudah mendiami lahan dan rumah itu   puluhan tahun lamanya, serta telah memiliki Surat Hak Milik (SHM) dan IMB.

Dalam persidangan itu juga, kuasa hukum penggugat, Djonggi M. Simorangkir SH. MH, dan Joice Novelin Ranapida SH, juga menyampaikan bukti tambahan surat dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM-RI), dengan Nomor:248/K/PMT/III/2014 tertanggal 6 Maret 2014, perihal  pemberian keadilan terhadap korban kesewenang-wenangan PN Medan.

Dalam surat itu, Komnas HAM-RI meminta  Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia (MA-RI) untuk memberikan hukuman kepada Sdr. Erwin Mangatas Malau SH,MH selaku Ketua PN Medan, akibat tindakannya yang tidak profesional.

Selain itu, Komnas HAM-RI juga meminta Komisi Yudisial RI bersama Badan Pengawas Mahkamah Agung RI, untuk memeriksa  Majelis Hakim perkara nomor 113/Pdt.G/2006/PN Medan, yang diduga tidak profesional, melanggar kode etik, serta Komnas HAM-RI meminta agar memberikan pemulihan/pertanggungjawaban kepada masyarakat yang menjadi korban,  untuk menerima gugatan ganti rugi yang dilakukan warga terhadap negara cq Mahkamah Agung RI cq Pengadilan Negeri Medan.
Usai mendengarkan keterangan saksi dan keterangan tambahan dari Komnas HAM-RI yang dibacakan Djonggi Simorangkir, Majelis Hakim menunda persidangan Kamis depan dengan agenda pemangilan kepada BPN Medan untuk dimintai keterangan.
Usai persidangan Djonggi menjelaskan akibat dari kebodohan dan kecerobohan yang dilakukan oleh ketua pengadilan Negeri  Medan pada saat itu Drs. H. Panusunan Harahap, SH, MH yang telah mengeluarkan penetapan pengadilan Negeri No. 113/Pdt.G/2006/PN. Mdn tahun 2010 dan penetapan kedua No.113/Pdt.G/2006/PN. tahun 2011 oleh ketua Pengadilan Negeri Medan Erwin Mangatas Malau SH, MH.

Dampak dari kebodohan dan kecerobohan penetapan tersebut, warga Jalan Jati Medan telah menjadi korban oleh kedua Ketua PN Medan tersebut. Tanah dan bangunan yang telah dikuasi, didiami berpuluh tahun dan memiliki SHM serta IMB di hancurkan tanpa ada landasan hukum yang jelas.

 Anehnya lagi penetapan eksekusi dalam perkara 113 itu hanya berdasarkan surat kuasa khusus pada 10 September 2009 oleh advokat Ali Hasmi. Di sini terbongkar semua kebusukan dari para pihak yang berperkara, pada saat juru sita pengadilan negeri medan Sayid Yusri Hamdani memanggil Rulsi pihak yang berperkara melalu risalah panggilan nomor 466/ Pdt.G/2013/PN.Mdn ada 05 september 2013 Rusli dalam surat tersebut mengatakan Rusli sebagai tergugat VI, namun ia tidak bersedia menanandatangain risalah panggilan sidang ini dengan alasan tidak pernah bergabung dalam masalah perkara ini dan tidak bersedia menerima risalah panggilan sidang ini.

“Nah timbul pertanyan mereka yang mengajukan permohonan eksekusi ini kan  Abdul Kiram cs dan Rusli, termasuk banyak bukti yang kita dapat ada  nama Rusli, dan tandatangan Rusli, sedangkan si Rusli sendiri bilang dia tidak pernah ikut dalam perkara ini. Berarti yang membuat tandatangan si Rusli ini siapa, berarti kan ini tandatangan palsu atau dipalsukan. Belum lagi 18 orang dari 23 orang itu tidak juridis formil, tidak sesuai nama-namanya dengan surat kuasa,” ujarnya.

Contoh, surat kuasa namanya Abdul Kiram padahal KTP yang diajukan namanya Matdul Kiram, Sofian KTP yang diajukan Mis Sofiian, Nasib Suriyono, KTP yang diajukan Nasib Sumpeno banyak lagi yang lain. “Ada apa dengan kantor hukum Ali Hasmi ini. Kita akan segera laporkan kantor hukum ini kepada polisi,” ungkap Djongi heran.

Djonggi menyatakan dengan adanya surat Komnas HAM, pihaknya akan melengkapi semua data–data ke Komisi Yudisial (KY). “Cuma saya ragu kepada KY, kenapa ragu, karena jauh sebelum rumah penduduk dihancukan kita sudah buat laporan dan pengaduan ke KY dan bertermu langsung dengan saudara Dr. Suparman Marzuki yang waktu itu masih menjabat sebagai komisioner dan sekarang sudah menjadi Ketua KY. Apakah lembaga ini orang–orangnya masih kredibel atau tidak. Karena apa, lucu dong KY  mengatakan tidak ada apa–apanya ini kan menjadi pertanyaan tanda kutip,” sesal Djonggi.

Kan lucu dong kenapa badan pengawasan MA yang memerintahkan Pengadilan Tinggi (PT) Medan untuk memeriksa kasus ini dia sudah dihukum dengan sangsi profesional conduct, yaitu Wakil Ketua PT Medan waktu itu sekarang kok menjadi hakim agung.

Tetapi menjadi menarik lagi Komnas HAM sendiri meminta Ketua MA, badan pengawasan MA dan KY untuk memeriksa putusan Perkara No. 113 ini, karena Komnas HAM sendiri tidak puas dengan hukuman yang telah dijatuhkan oleh badan pengawasan MA.

Minta Diperiksa

Djonggi berharap agar para hakim yang memeriksa dan memutus perkara No. 113 ini (Dolman Sinaga SH, Soetatmo SH, Rukman Hadi SH) dan para hakim yang  memeriksa kasus ini di PN Medan yang orangnya itu–itu juga (hakim Sugianto, SH, Lely Wati SH, Guntur SH, UB Hutagalung  SH .

“Ada apa ini diborang seperti hoka–hoka bento. Dalam hal ini, termasuk rekening para hakim ini perlu diperiksa dan harus ada kerjasama PPATK dan KPK untuk mengusut tuntas mafia hukum yang sudah lama terjadi di pengadilan Negeri Medan. Saya minta KPK harus memeriksa semua hakim yang terlibat memeriksa dan memutus perkara 113,” tegas Djonggi.

Bagi Djonggi, putusan ini sangat aneh karena sudah jelas yang berperkara adalah Abdul Kiram cs dan Rusli Lugianto, akan tetapi tanah dan rumah warga yang tidak tahu menahu masalah  yang di hancurkan, dirampok rumah, tanah dan bangunannya. Padahal warga memiliki SHM dan IMB sehingga menjadi korban oknum–oknum hakim yang tidak bertanggung jawab.

“Inikan aneh bin ajaib. Si A dan si B yang berperkara, kok tanah dan bangun si C yang dieksekusi dan siapa yang bertanggung jawab atas penghancuran rumah  dan bangunan warga tersebut? Nah, ini para hakim dan panitera semuanya yang terlibat dalam perkara No. 113 ini harus diperiksa tanpa terkecuali,” ujarnya.

Makanya sebaiknya surat edaran MA yang melindungi kejahatan–kejahatan orang di pengadilan itu segera dicabut oleh ketua MA dan harus diexsaminasi, karena para hakim ini banyak yang tidak bisa diperiksa di kepolisian. Jikalau dipanggil menjadi saksi, para hakim itu berlindung di balik surat edaran MA dan ini harus menjadi perhatian oleh ketua MA.

Melibatkan TNI

Lebih aneh lagi, PN Medan membuat suatu penetapan yang melibatkan TNI. Isi penetapanya:... menetapkan bahwa perintah ini dapat dijalankan sembarang waktu, kecuali pada hari minggu dan hari–hari besar lainnya, dan jika perlu dapat dijalankan dengan upaya paksa dengan bantuan alat keamanan Negara polri dan TNI.

“Ini kan gila. Pengadilan sipil melibatkan militer. Apakah ada orang militer yang terlibat, kan tidak ada, apakah pengadilan bisa melibatkam militer tanpa perintah panglima TNI dan apakah TNI bisa ditarik–tarik untuk menangani kasus ini, apakah TNI mau menembak rakyatnya sendiri, membunuh rakyatnya sendiri sehingga melibatkan militer, apakah perkara ini membuat suatu makar sehingga mengguncangkan negara ini sehingga TNI dilibatkan?” tanya Djonggi heran.

Djonggi berharap KY harus aktif. “Bila perlu orang–orang di KY itu diganti, karena mereka menurut saya tidak kredibel. Menurut saya, hukum acara di KY itu harus di buat, jangan KY itu hanya sebatas menyeleksi–nyeleksi calon hakim, sementara hukum acara di KY itu tidak jelas. KPK juga harus turun tangan untuk memeriksa orang–orang di KY, termasuk PPATK harus memeriksa rekening–rekening orang di KY,” pungkas Djonggi.
(Romi Lubis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar