![]() |
Agung Sripurnomo, SH. MH, Ketua DPD DKI (Advokat) |
Menjadikan hukum sebagai panglima adalah sebuah obsesi yang selalu terus menerus.
Untuk itu pria yang memulai karir advokatnya di Surabaya, berkeyakinan bahwa seorang advokat dalam menjalankan profesinya haruslah selalu bersikap profesional, transparan, cerdas dan jujur.
Ketua DPD Ikadin DKI Jakarta ini melihat cita-cita negara hukum masih jauh dari kenyataan. Begitu banyak persoalan yang menggerogoti, mulai dari belum berjalannya pelaksanaan sistem hukum hingga permasalahan kapasitas yang ada pada aparat penegak hukum itu sendiri.
Menurutnya, aparat penegak hukum terlalu formalistik dan legalistik dalam menggali suatu keadilan. Layaknya robot yang hanya menjalankan proses yang harus di jalankan. Hal tersebut terjadi, karena kualitas aparat itu sendiri. Mentalitas dan integritas aparat dan pranata atau aturan hukum yang tidak bisa memberi jaminan adanya kepastian hukum.
“Mengapa sistem peradilan kita yang menganut azas peradilan yang murah dan cepat tidak terlaksana? Ini karena memang aturannya tidak memungkinkan untuk cepat terlaksana,”ujar pria kelahiran Kediri ini. Hal ini diperparah dengan adanya beberapa persoalan yang tidak diatur secara tegas dan ada juga peraturan-peraturan yang membuat proses keadilan itu menjadi lama, seperti tidak ada pembatasan waktu terkait sampai kapan bukti-bukti yang belum lengkap itu diproses.
Kekurangan lain yang diamati Agung adalah cara pandang aparat penegak hukum. Adanya kepentingan-kepentingan internal serta keterbatasan dalam memahami suatu persoalan hukum. Seperti bagaimana para penyidik dapat menggali persoalan hukum itu sendiri secara sempurna jika mereka tidak punya dasar atau latar belakang hukum yang memadai.
Solusi
Berbicara mengenai berbagai persoalan yang mendera dunia hukum di tanah Air, Agung melihat banyak yang harus dibenahi untuk bisa menjadi negara hukum yang ideal. Apalagi bila pemimpin negara tidak perduli dengan persoalan ini maka tidak mungkin bawahan dapat menjalankan penegakan hukum dengan baik dan berkeadilan.
Dalam pemikiran Agung, ada beberapa poin yang bisa menjadi alternatif solusi penegakan hukum di tanah Air. Yang paling utama adalah me-review undang-undang yang terkait dengan penegakan hukum agar tidak tumpang tindih. Begitupun berbagai peraturan daerah (Perda) yang bertentangan dengan UU di atasnya harus dibatalkan, karena suatu proses penerbitan peraturan dan perundangan harus sesuai dengan kondisi, kemajuan dan budaya masyarakat.
Solusi yang dilakukan harus secara menyeluruh. Dengan membenahi semua instrumen yang ada, dimulai dengan peningkatan kualitas dari SDM aparat hukum sampai dengan proses legislasi. Bagi Agung, supremasi hukum harus menjadi panglima, diluar itu sangat sulit. Jika hukum dibiarkan seperti ini, maka negara ini akan bubar, tandasnya.
Korupsi
Soal pemberantasan korupsi, dari ketiga lembaga hukum yang boleh menyidik korupsi seperti Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agung memberi apresiasi kepada KPK. Meski demikian, persoalan di KPK menyangkut jumlah personil, kualitas dan keterbatasan rekruitmen perlu disikapi secara serius.
Karena itu ia berharap agar penyidik KPK bersifat independen, jangan lagi direkrut dari instansi lain seperti Kejaksaan dan Kepolisian. Bila masih direkrut dari sana, apapun kasusnya mereka akan berpikir dua kali jika bersentuhan dengan baju atau kepentingan mereka. Dan akhrinya kita tidak bisa mengharapkan yang lebih dari KPK.
Meski Indonesia dapat memberantas dengan cara yang dilakukan pemerintah saat ini, akan tetapi akan lebih baik bila Indonesia meniru cara negara Tiongkok, seperti hukuman mati atau memiskinkan koruptor. Dalam memberantas korupsi, berdasarkan pengamatan Agung, proses peradilan di Tiongkok hanya satu tingkat dan prosesnya pun cepat. Ini karena mereka mengabaikan faktor-faktor yang mempersulit penghukuman seperti HAM atau suara-suara maupun tekanan pihak internasional. Mereka bersikap keras dan tegas untuk penegakan hukum dan mengamankan masyarakat mereka, karena kalau tidak seperti itu, negara bisa bangkrut, katanya.
Bagi Agung untuk kasus-kasus tertentu seperti korupsi, narkoba dan kejahatan-kejahatan besar lainnya adalah sangat cocok bila penerapan hukum di Tiongkok dapat diterapkan di Indonesia. “Jika kasus korupsi diterapkan hukum seperti di Tiongkok, saya yakin semua akan takut korupsi,” tegasnya.
Agung melihat hukum menjadi panglima memang masih jauh dari harapan, karena hukum mudah diintervensi baik oleh politik, kekuasaan, ekonomi dan kelompok-kelompok tertentu. ”Hukum diharapkan menjadi kunci menyelesaikan semua keruwetan ini” kata Agung yang menjadikan Nelson Mandela sebagai inspirator dalam hidupnya
Dunia Advokat
Berbicara tentang profesinya sebagai advokat, Agung memilih pekerjaan ini karena baginya advokat adalah pekerjaan yang menantang dan mulia. Hal itu dirasakan saat rezim Orde Baru masih menancapkan kekuasaan represifnya. Ketika banyak kasus-kasus pertanahan, perburuan dan kasus bernuansa politis lainya di selesaikan dengan alat-alat kekuasaan seperti militer.
Segala sendi kehidupan masyarakat, diawasi dengan ketat sehingga kehidupan berdemokrasi dan penghargaan hak asasi manusia tidak diakui. Pada masa itu Agung yang sudah menjadi advokat hijrah ke Jakarta pada 1994. Awalnya ia merintis karir di Surabaya pada era 1990-an setelah sebelumnya ia dilantik menjadi pengacara praktek oleh Pengadilan Tinggi di Surabaya pada 1992.
“Pada masa itu untuk menjadi seorang advokat harus melalui dua jenjang. Pertama harus menjadi pengacara praktek yang kiprahnya hanya sebatas tingkat provinsi, lalu diuji lagi setelah memenuhi beberapa persyaratan untuk menjadi seorang calon advokat,” jelasnya.
Agung, di Jakarta, membuka Kantor Hukum Agung & Partners. Ia memilih membuka kantor sendiri karena lebih suka kerja mandiri dan memberi ruang baginya untuk mengaktualisasi diri serta mengeskplorasi potensi yang ada. Dalam menangani kasus, kantor hukum Agung tidak pernah membeda-bedakan kasus per kasus. Karena setiap kasus menurutnya punya latarbelakang masing-masing.
Advokat Profesional
Banyak liku-liku hidup yang sudah dirasakan Agung dalam menjalani profesi advokat ini. Baginya, penanganan kasus buruh dan kasus bernuansa politislah yang banyak memberikan pengalaman dalam mematangkan karirnya.
Agung memilih menempuh cara-cara elegan untuk meningkatkan standar kantor hukumnya. Sistem marketing yang dipakai Agung untuk meningkatkan jumlah kliennya pun dijalankannya dengan cara yang elegan, yaitu dengan meningkatkan kualitas dan profesionalisme baik secara individu maupun tim, serta menjaga kepercayaan klien.
Selalu bersikap jujur dan transparan sehinga klien akan puas terhadap kinerja Agung dan rekan-rekannya. Sembari bekerja sebagai advokat, pada 2004 ia juga mengembangkan bisnisnya di bidang kontraktor sipil, pengembang perumahan dan saat ini ia lagi belajar berkebun dan parawisata.
Menjamurnya kehadiran kantor- kantor hukum di Indonesia tidak membuat Agung dan rekan-rekanya merasa gentar. Agung punya kiat-kiat khusus seperti meningkatkan keahlian, profesionalisme baik secara individu maupun tim, membangun komunikasi yang jujur dengan klien dan menjaga kepercayaan klien.
Agung mengapreasiasi banyaknya kehadiran kantor-kantor hukum tersebut, tetapi ia menyayangkan munculnya advokat yang bekerja serampangan tanpa memahami tugas mulia seorang advokat yang diiistilahkannya sebagai ‘advokat instan.
Ada dua kategori; pertama, para sarjana hukum yang baru lulus dan langsung terjun di profesi advokat. Akibat konflik yang berkepanjangan di organisasi advokat sehingga dalam rekrutmen cenderung asal-asalan. Yang penting punya anggota banyak dan dapat duit, masalah kualitas tidak menjadi standarisasi dalam seleksi calon advokat baru tersebut. Kedua, para pensiunan atau mantan pejabat di instansi pemerintah maupun swasta.
Advokat seperti inilah yang menurut Agung rentan menjadi calo dan mafia hukum. Karena advokat yang bernaung dalam kantor hukum tersebut tidak memahami tugas dan eksitensi advokat.
”Seorang advokat selain memberikan pembelaan hukum kepada kliennya, juga berfungsi sebagai agen perubahan dalam proses pembangunan hukum nasional. Oleha karenanya perlu ada revolusi dalam dunia advokat. Advokat harus punya visi ke depan dan memiliki peran yang jelas dalam pembangunan hukum nasional. Akan menjadi naïf kalo advokat mengeliminasi dirinya sendiri hanya dengan menjadi calo atau broker perkara atau hidup dari organisasi advokat,”tandasnya.
Tak hanya itu, advokat bagi Agung juga harus mempunyai visi dan komitmen yang jelas dalam penegakan hukum dan keadilan. ”Seorang advokat harus menjalankan profesinya dengan professional, transparan, cerdas dan jujur,” imbuh Agung yang menjadikan almarhum Gatot S. Taryadi, advokat senior di Surabaya yang ikut memberi sentuhan dan warna di awal karirnya, sebagai panutannya.
Saat memiliki sedikit waktu luang di sela kesibukannya di dunia advokat dan beberapa bisnis yang dijalankannya, ia mengisi waktunya dengan membaca. Agung merasa terinspirasi dari kegemarannya membaca.
Sepeti novel-novel hukum karya John Grisham, buku yang mengajarkan teori-teori pembahasan karya Paulo Fraire dan bacaan lainnya yang berkaitan dengan budaya, demokrasi dan hak asasi manusia.
(RISKA H)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar