![]() |
Lapangan Parkir Pesawat Bandara Sentani |
Tuntutan Pembayaran Ganti Rugi Tanah Adat Lokasi Bandar Udara Sentani Kabupaten Jayapura Provinsi Papua dituntut oleh masyarakat Pemilik Tanah sejak tahun 1970-an hingga sekarang ini belum terselesaikan oleh Pemerintah Daerah maupun Pusat.
Dari tuntutan itu, sejak 17 Januari 2000 pertama kali diadakan demo/pemalangan di atas Tanah Adat tersebut. Demikian juga pada 2001, hingga pada 4 Oktober 2001 diadakan pertemuan di Kantor Gubernur Papua antara Pemerintah Daerah Departemen Perhubungan RI dan Masyarakat Pemilik Tanah sehingga dibuat suatu kesepakatan yang disebut “Kesepakatan 4 Oktober 2001 (terlampir), sehingga areal tanah yang dipakai untuk Bandar Udara Sentani dibagi menjadi dua jalur yaitu jalur putih (bagian luar) dan jalur kuning (bagian tengah) diibaratkan sebagai telur.
Saat warga mengajukan tuntutan mereka tidak membeda-bedakan dua jalur ini karena mereka menuntut secara utuh atau keseluruhan, tetapi Pemerintah dalam hal ini Departemen Perhubungan RI, yang mengklasifikasi menjadi dua jalur yaitu jalur putih dan kuning sehingga tanggal 4 Oktober 2001 ditetapkan untuk membayar jalur putih (bagian luar) terlebih dahulu dan jalur kuning (bagian tengah) akan diselesaikan sesudah / melalui pembahasan dengan beberapa instasi tekait sesuai “Kesepakatan Tanggal 4 Oktober 2001”.
Pada Juli 2003 jalur putih (bagian luar) telah dibayarkan kepemilikan tanah sebesar Rp.15,9 miliar yang diterima tiga kampung yaitu Kampung Yahim, Yobeh dan Ifar Besar dengan luas tanah/areal 398.800 M2 dan dengan harga yang disepakati adalah Rp.40.000/ meter.
Pada 2005 masyarakat Pemilik Tanah Adat Lokasi Bandar Udara Sentani mulai menuntut kembali jalur kuning (jalur tengah). Mereka mendatangi Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Papua, selalu dijawab bawa Bandar Udara Sentani adalah kewenangan Pemerintah Pusat untuk menyelesaikan. Masyarakat pemilik tanah kemudian ke Jakarta dan menuntut ke Departemen Perhubungan RI, berkali-kali hal ini terjadi dengan biaya masyarakat sendiri.
Desember 2006, masyarakat pernah diundang oleh Dirjen Perhubungan Udara ke Jakarta karena ada tuntutan dari masyarakat dan pertemuannya dilaksanakan pada 13 dan 15 Desember 2006 di Jakarta. Kemudian Departemen Perhubungan mengirim surat kepada Gubernur dan Ketua DPR Provinsi Papua untuk menindak lanjuti, tetapi tidak diselesaikan sampai saat ini.
Pada Januari 2007, pertemuan pernah difasilitasi oleh Ketua DPRP di Pendopo Alm. Theys H. Eluay. Pada pertemuan tersebut yang memimpin rapat dinilai menginterventasi hak kepemilikan, sehingga pertemuan tersebut tidak menghasilkan kata sepakat..
Belakangan disinyalir ada oknum pejabat daerah yang memunculkan pemilik baru, selain pemilik yang penerima ganti rugi pada 2003, sehingga Kampung Yobeh dan Yahim menuntut jalur hukum untuk membuktikan kepemilikan.
Pada Maret 2007 empat warga menemui Ka. Bandara (Sukarjo) meminta solusi penyelesaian. Sukarjo kemudian mengusulkan kepada warga untuk menempuh jalur hukum.sehingga nantinya pihak Pemerinta tidak membayar pada pihak yang salah yang tidak seharusnya menerima ganti rugi. .
Anehnya, Departemen Perhubungan RI berusaha keras mengalahkan warga, sehingga perkara tersebut saat ini sudah di Mahkamah Agung (kasasi) sehingga ada prasangka dari masyarakat bahwa ada orang yang bermain di belakang layer. Ini mengingat Departemen Perhubungan RI tidak mempunyai dasar untuk menang karena tidak memiliki bukti apapun atas kepemilikan Tanah tersebut.
Semua bukti surat foto copy dan tidak ada bukti Surat Pelepasan dari masyarakat Pemilik Tanah bahkan juga, tidak ada sertifikat tanah, seharusnya Departemen Perhubungan RI dikalahkan, karena keputusan Hakim yang tidak adil, akhirnya pada tanggal 3 dan 4 Februari 2009, kami mengadakan pemalangan di Bandar Udara Sentani, Kapolres Jayapura mempertemukan kami di Polres (Ka. Bandara Sentani Masyarakat) untuk menarik massa, kedua belah pihak membuat kesepakatan (kesepakatan terlampir), Ka. Bandara tidak melaksanakan Pernyataan Kesepakatan tersebut, sehingga kami sendiri berupaya untuk menemui Gubernur/ Wakil Gubernur Papua.
Pada 29 April 2009, warga meminta waktu kepada Wakil Gubernur Papua untuk melapor protes jalur hukum.. Akhirnya Wakil Gubernur memanggil Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Papua dan Kepala. Bandara tapi masyarakat keesokan harinya tidak dapat bertemu karena telah dianggap telat 25 menit dari jadwal pertemuan.
Berbagai upaya terus dilakukan, untuk menuntut hak atas tanah di Bandara Sentani tersebut, baik ke pejabat dan aparat hokum di daerah hngga pusat. Pada Mei 2010 Menteri Perhubungan sebenarnya meinta Ketua DPRD Papua untuk menggelar pertemuan dengan para ahliwaris yang akan dihadiri sendiri oleh menteri perhubungan. Tapi pertemuan tersebut tak terlaksana hinga hari ini.
Luas Areal
Luas areal tanah yang saat ini atau sejak 2005 dituntut oleh masyarakat pemilik tanah (jalur kuning “bagian tengah”) adalah ± 52 Ha (528.298,8 M2) dengan kepemilikan dua 2 kampung yaitu sebelah arat milik Yakomina Felle (Kampung Yahim) anak kandung Alm. Yahya Felle (Ahli Waris) dan sebelah timur milik Ayub Felle dan Karlos Sokoy Kampung Yobeh dengan luas areal milik Yakomina Fella dan sudah diukur oleh BPN Kabupaten Jayapura adalah seluas 287.080 M2 dengan mendapat ijin pengukuran dari Kepala Bandar Udara Sentani dan untuk luas areal kepemilikan sebelah timur adalah milik Ayub Felled an Karlos Sokoy belum diukur oleh BPN Kabupaten Jayapura.
Pada 23 Mei 2010, enam perwakilan pemilik tanah adat Kampung Yahim ke Jakarta, untuk menyerahkan surat Tuntutan Ganti Rugi Tanah Adat Lokasi Bandar Udara Sentani ke Presiden, Menteri Perhubungan, Dirjen Perhubungan Udara, Ketua Komisi II dan V DPR RI, BPN, Kapolri, dan kami juga memasukkan surat permohonan audiensi ke Menteri Perhubungan dan Ketua Komisi II DPR. Perjuangan masyarakat tak pernah membuahkan hasil, demikian janji memediasi kasus ini antara warga gubernur oelh Dirjen pun tak pernah terlaksana.
Majelis Rakyat Papua (MRP) , menanggapi kasus ini pernah menyatakan bahwa kewenangan Pemerintah Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masuyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua telah ditetapkan di dalam UU No. 21/2001 Bab 1 point b tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Untuk itu Pemerintah Provinsi Papua telah memiliki kewenangan penu untuk mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat asli Papua.
MRP juga berpendapat bahwa pemilik Tanah Adat Bandara Udara Sentani Jayapura adalah pihak yang dirugikan oleh Pemerintah Provinsi Papua selama ini.
Oleh karenaya, MRP merekomendasikan kepada Gubernur Provinsi Papua melalui Instansi yang bersangkutan untuk memperhatikan permohonan Ganti Rugi Tanah Adat Bandara Udara Senntani Jayapura yang disampaikan oleh Masyarakat Kampung Yahim dan Kampung Yobeh, agar dapat difasilitasi dan di bayarkan dengan ketentuan peraturan yang berlaku.Saat ini, warga masyarakat yang mengatasnamakan dirinya Tim Kerja Penyelesaian Tanah Adat Bandar Udara Sentani, Kabupaten Jayapura atau yang tergabung dalam masyarakat adat yang mempunyai hak ulayat atas tanah adat di Bandar Udara Sentani, dipimpin Alfred Felle, berharap agar Pemerintah Provinsi Papua agar segera menyelesaikan persoalan hak ganti rugi persoalan Tanah Adat Bandar Udara Sentani Kabupaten Jayapura.
Saat ini, masa ini pun sering melakukan aksi demo dan menduduki Bandara. Menurut Alfred Felle, bila aspirasi tidak ditanggapi maka sesuai dengan kesepakatan bersama mereka akan menduduki atau kembali melakukan pemalangan terhadap Bandar Udara Sentani. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun diminta agar segera memeriksa instansi-instansi terkait karena diduga menggelapkan dana ganti rugi.
(Harun Bless)